Hampir seumur hidup dihabiskan di antara, menjadi tidak terlihat atau memang sengaja disisihkan. Hingga akhirnya menjadi prioritas adalah kepercayaan yang terlalu besar dan membuat lari ketakutan, mengunci diri, dan kembali berkamuflase dengan tembok rumah. Tak butuh waktu lama untuk terbiasa, keberadaan dan ketidakberadaanku begitu tidak berartinya. Justru, rasanya sungguh asing ketika terbiasa bekerja keras hanya untuk apresiasi yang tak lebih dari formalitas, lalu seketika afeksi hadir bagai gravitasi. Tapi aku tidak perlu khawatir—atau berharap?—ini akan berlangsung lama. Tidak ada gunanya menjadi nomor satu kalau bukan satu-satunya.
Tuesday, August 4, 2020
By me on 10:17:00 PM
"Papah, papah lembur ya?"
"Iya ini"
"Yahhh Papah! Aku kan mau main sama Papah!"
"Iya... Besok Jumat aja ya mainnya. Ini tadi Papah mau pulang tapi teman Papah ngabarin tool Papah ada yang bermasalah"
"Teman Papah ngabarin, apa Papah cek HP?"
"Hahahaha iya teman Papah ngabarin ya via Whatsapp, pas Papah cek HP"
"Papah kenapa mau pulang tapi cek HP? Pah, Papah toolnya kenapa?"
"Toolnya tadi kemasukan semut... eh... batu"
"Jadi batu atau semut?"
"Batu... batu..."
Gadis kecil itu tidak berhenti mempertanyakan Papahnya yang harus pulang lebih malam. Gadis yang amat cerdas. Aku sampai tidak sadar meneteskan air mata mendengarkan pertanyaan-pertanyaannya yang bertubi-tubi, entah karena terlalu lucu atau...
Ya, aku teringat ayahku.
Jika dan hanya jika dahulu sudah secanggih ini, apa aku akan sering menerrornya ya? Aku rasa ketika masih kecil adalah waktu yang sangat tepat untuk bonding antara orang tua dan anak, kalau sudah mulai besar atau ABG pastinya itu cerita lain.
Ah, ayah. Memang penyesalan itu datang di belakang.
"Papah udah makan siang?" gadis kecil itu masih melanjutkan daftar pertanyaannya
Kemudian terdengar tawa dari teman-teman lain, karena saat itu sudah pukul 9 malam.
"Iya udah. Ini Papah lagi makan malam"
"Kok baru makan?"
"Tadi Papah habis kerja... sekarang baru sempat makan. Udah ya, Papah makan dulu"
Setidaknya 3x aku mendengar rekan kerjaku berusaha menyudahi teleponnya. Tapi setiap kali gadis kecilnya membuka obrolan baru, ia tidak sedikitpun terdengar malas atau kesal menjawab. Tidak apa-apa, aku juga jadi bisa terhibur sedikit dari lembur ini.
"Kok Papah tahu yang tadi ngomong adek?"
"Iya, kan suaranya beda"
"Memang gimana bedanya?"
"Ya... pokoknya beda suaranya mbak sama adek"
Terdengar suara tertawa kecil dari si gadis kecil.
Ah, malam yang aneh. Malam yang membuat hati hangat bahagia dan sedih disaat bersamaan. Malam yang tanpa sadar air mataku jatuh dengan sendirinya, meskipun aku sambil tertawa.
***
Maafkan aku yang gagal
"Iya ini"
"Yahhh Papah! Aku kan mau main sama Papah!"
"Iya... Besok Jumat aja ya mainnya. Ini tadi Papah mau pulang tapi teman Papah ngabarin tool Papah ada yang bermasalah"
"Teman Papah ngabarin, apa Papah cek HP?"
"Hahahaha iya teman Papah ngabarin ya via Whatsapp, pas Papah cek HP"
"Papah kenapa mau pulang tapi cek HP? Pah, Papah toolnya kenapa?"
"Toolnya tadi kemasukan semut... eh... batu"
"Jadi batu atau semut?"
"Batu... batu..."
Gadis kecil itu tidak berhenti mempertanyakan Papahnya yang harus pulang lebih malam. Gadis yang amat cerdas. Aku sampai tidak sadar meneteskan air mata mendengarkan pertanyaan-pertanyaannya yang bertubi-tubi, entah karena terlalu lucu atau...
Ya, aku teringat ayahku.
Jika dan hanya jika dahulu sudah secanggih ini, apa aku akan sering menerrornya ya? Aku rasa ketika masih kecil adalah waktu yang sangat tepat untuk bonding antara orang tua dan anak, kalau sudah mulai besar atau ABG pastinya itu cerita lain.
Ah, ayah. Memang penyesalan itu datang di belakang.
"Papah udah makan siang?" gadis kecil itu masih melanjutkan daftar pertanyaannya
Kemudian terdengar tawa dari teman-teman lain, karena saat itu sudah pukul 9 malam.
"Iya udah. Ini Papah lagi makan malam"
"Kok baru makan?"
"Tadi Papah habis kerja... sekarang baru sempat makan. Udah ya, Papah makan dulu"
Setidaknya 3x aku mendengar rekan kerjaku berusaha menyudahi teleponnya. Tapi setiap kali gadis kecilnya membuka obrolan baru, ia tidak sedikitpun terdengar malas atau kesal menjawab. Tidak apa-apa, aku juga jadi bisa terhibur sedikit dari lembur ini.
"Kok Papah tahu yang tadi ngomong adek?"
"Iya, kan suaranya beda"
"Memang gimana bedanya?"
"Ya... pokoknya beda suaranya mbak sama adek"
Terdengar suara tertawa kecil dari si gadis kecil.
Ah, malam yang aneh. Malam yang membuat hati hangat bahagia dan sedih disaat bersamaan. Malam yang tanpa sadar air mataku jatuh dengan sendirinya, meskipun aku sambil tertawa.
***
Maafkan aku yang gagal
Subscribe to:
Posts (Atom)